Dalam kehidupan pernikahan tidak hanya cukup menjadi istri atau suami yang baik untuk menghasilkan sebuah kehidupan pernikahan yang berkualitas tapi juga dibutuhkan kesungguhan untuk bisa memenuhi kebutuhan pasangan kita. Maimelajah.com akan membahasnya di artikel yang berjudul Harmoni Kehidupan Bercerai atau Bertahan. Cerai!!!! inilah kata yang sering mampir ke telinga kita lebih-lebih bagi mereka yang rajin menyimak berita perceraian di televisi. Berbagai kisah dan adegan di layar kaca itupun menghadirkan penilaian yang dramatis betapa perceraian sudah tidak lagi dipandang aneh, langka dan tabu lagi. Bahkan itu menjadi pemandangan yang biasa pada zaman sekarang.

Harmoni Kehidupan Bercerai atau Bertahan, persepsi ini wajar karena data yang dihimpun menunjukkan adanya peningkatan perceraian yang pesat. Fakta yang dikemukakan oleh konsultan pernikahan bahwa satu dari sepuluh perkawinan berakhir dengan perceraian. Perceraian ibarat fenomena gunung es artinya data yang tidak tercatat tentang perceraian lebih banyak. Bahkan ada fenomena baru yaitu status tanpa hubungan. Banyak reaksi masyarakat berkaitan dengan fenomena ini, ada yang menganggap ini sebagai bagian dari efek tuntutan jaman yang telah berubah, ada yang semakin berhati-hati dan membekali diri.

Masalah dari sesuatu hal kecil

Meski Anda dan pasangan sudah pacaran bertahun – tahun sebelum akhirnya menikah atau mungkin sudah menikah dalam kurun waktu yang panjang, hal ini tidak menjamin kelanggengan dan kebahagiaan kehidupan pernikahan. Istilah “And they live happily ever after” hanya ada di dongeng di kehidupan nyata?? Tidak semudah itu. Ada banyak tantangan yang tidak akan berhenti datang sepanjang kehidupan pernikahan.

Kebanyakan konflik berawal dari ketidaksukaan satu sama lain akan hal-hal kecil. Buruknya komunikasi antar pasangan membuat hal kecil itu lama kelamaan menjadi seperti bom waktu yang siap untuk meledak. Data yang didapat penyebab perceraian paling utama 92%. Selain komunikasi masalah lain yaitu pasangan melupakan prinsip “take and give”. Umumnya kita selalu ingin dimengerti, disayang, diperhatikan namun kita tidak sadar juga harus siap menyayangi, mencinyai, mengerti.

Cinta saja tidak cukup

Dalam dunia dongeng sering dikatakan kekuatan cinta dapat mengalahkan segala rintangan dan perbedaan. Namun di kenyataannya cinta saja tidak akan cukup. Pasangan yang tidak siap dan tidak cukup bekal di awal pernikahan seringkali memandang konflik sebagai sinyal bahwa cinta telah padam dan pernikahan sudah di ambang kehancuran. Perbedaan yang dulu dipandang sebagai hal unik mulai menjadi biang keladi. Pernikahan adalah sebuah episode kehidupan yang tidak hanya mensyaratkan adanya cinta saja namun juga skill dan knowledge yang cukup tentang pernikahan.

Minimnya knowledge tentang pernikahan dapat dilihat dari banyaknya mitos pernikahan yang salah. Mitos pertama yang masih sering dipakai adalah “Terima apa adanya”. Mereka yang berpegang pada mitos ini umumnya akan menuntut pasangan untuk menerima apa adanya dirinya. Dia akan tersinggung dan tidak terima dengan tuntutan pasangan. Perkataan yang sering dipakai adalah “Sebelum menikah kan sudah kenal saya jadi terima saya apa adanya dong”. Mitos ini yang paling parah efeknya untuk keharmonisan keluarga. Mitos ini kerap dijadikan senjata untuk menolak tumbuh atau berubah lebih baik. Tentulah yang menjadi korban adalah pasangannya. “Jangan menuntut orang untuk berubah” nasihat ini tidak seluruhnya tepat. Misalkan kita punya pasangan yang mempunyai pola pikir enggan berubah atau penganut mitos terima apa adanya kita harus memulai dari diri sendiri menjadi pribadi yang lebih baik kemudian menuntun pasangan ke arah yang lebih baik. Jadi bukan menuntut tapi berusaha menuntun dan berjalan bersama ke arah yang lebih baik.

Pondasi Pernikahan

Pasangan yang ideal adalah mereka yang selain menjadi suami/istri, ayah/ibu juga mampu menjadi partner, sahabat sekaligus kekasih bagi pasangan, dengan menjalankan ketiga peran tersebut maka keluarga harmonis dapat tercipta dengan baik. Untuk mencapai hal itu dibutuhkan tujuan pernikahan yang jelas dan seirama dan ditunjang dengan skill dan knowledge yang baik tentang pernikahan. Untuk mencapai sebuah pernikahan yang langgeng memerlukan pondasi yang kuat, pondasi ini bukan terletak dari cinta yang besar atau harta yang melimpah melainkan penyamaan tujuan dan konsep dari pernikahan itu sendiri. Kenyataannya hanya sedikit orang yang mempunyai tujuan dan konsep pernikahan. Banyak pasangan yang menikah bukan didasarkan pada kesamaan tujuan dan konsep kedepan namun lebih pada pemenuhan tujuan tertentu, seperti karena desakan orangtua, pertimbangan umur atau karena pertimbangan cinta semata.

Cerai diibaratkan melarikan diri

Bagi Anda yang saat ini sedang mengalami masalah pernikahan yang cukup berat, bayangan perceraian nampaknya sudah didepan mata dan tak mungkin terhindarkan. Dalam kondisi ini nampaknya relatif mudah untuk mengklaim bahwa Anda sudah melakukan yang terbaik, namun fakta mengatakan sebaliknya. Banyak pasangan yang pada akhirnya menyadari bahwa ternyata belum banyak yang mereka lakukan untuk memperbaiki hubungan dengan pasangannya. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya secara obyektif menyadari bahwa sebenarnya mereka boleh dibilang belum melakukan apapun yang seharusnya dilakukan.

Dalam kondisi ini cerai adalah cara termudah untuk dilakukan, namun sebaiknya pasangan mempertimbangkan kembali. Lihat masalah yang ada secara obyektif dan lakukan introspeksi diri, perbaikan diri. Pasangan harus mau berjuang, mau membekali diri dengan knowledge dan skill yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah, mau mengalami perasaan tidak nyaman, mau melepas ego, mau bersabar dalam prosesnya. Jangan terlalu menyerah dengan keadaan yang ada dan melakukan justifikasi bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik. Lakukan hal yang positif untuk tumbuh ke arah yang lebih baik dalam hal memperbaiki hubungan pernikahan. Namun saat mereka sudah tumbuh namun pasangan ternyata menolak untuk tumbuh saatitulah mereka akhirnya bisa mengatakan bahwa sudah melakukan hal terbaik, kalaupun pada akhirnya berpisah sudah tidak ada lagi penyesalan dalam hati mereka karena sudah melakukan yang terbaik. Bila Tuhan mengijinkan dan memberikan jodoh yang baru mereka akan menjadi pasangan hidup yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Stadium konflik Rumah Tangga

Stadium I

Sudah mulai sejak malam pertama, terbayang dua pribadi yang berbeda sekarang tinggal bersama. Mulai timbul sedikit perasaan tidak nyaman, karakter dan kepribadian yang berbeda juga mengakibatkan friksi. Mulai dari handuk yang diletakkan sembarangan, cara oencet odol, dan kebiasaan lainnya yang tidak sama. Namun karena masih baru maka semua perbedaan itu diabaikan. Rasa cinta masih membara. Berapa lama kondisi stadium I? Tergantung dari kedua pasangan didiamkan saja atau dikomunikasikan. Jika memilih untuk mendiamkan saja akan ada dua kemungkinan yaitu mungkin salah satu pasangan memiliki keikhlasan yang luar biasa atau terjadi salah satu atau kedua pasangan memilih mengalah daripada ribut.

Jika salah satu ikhlas dalam artian yang sebenarnya pasangan akan tetap di level I. Namun jika ada yang memilih untuk mengalah ini akan terjadi bom waktu, bisa saja tidak lewat stadium 2 tapi langsung stadium 3 atau 4. Ada juga yang di stadium 1 sudah mengkomunikasikan, hasilnya tergantung dari bagaimana cara mengkomunikasikan, skill yang dimiliki & timingnya. Kalau sejak awal pasangan mempunyai komitmen yang kuat, kesamaan value, saling coba mengerti pasangan dan sama-sama mau tumbuh besar kemungkinan Anda akan tetap di stadium I. Ada juga pasangan yang berusaha mengkomunikasikan masalah namun karena kurang skill, timing malah jadi ribut. Di stadium I belum banyak konflik terbuka masih banyak membatin.

Stadium II

Konflik yang tadinya dipendan sekarang sudah mulai tidak tahan untuk mengekspresikan rasa tidak nyamannya. Sudah mulai terjadi pertengkaran, sindiran, bahasa isyarat dan bahasa tubuh yang menunjukkan rasa tidak senang/nyaman. Di stadium ini kerusakan sudah mulai terjadi. Perasaan terluka, sakit hati akan terakumulasi. Mulai enggan untuk mengkomunikasikan perasaan masing-masing. Saling tuntut, menyalahkan mulai sering terjadi. Jika komitmen dan kemauan untuk tumbuh kurang kuat akan segera masuk ke stadium 3

Stadium III

Konflik terbuka sudah terjadi, kadang tidak peduli terjadi konflik di depan anak. Juga menyindir pasangan di depan orang lain, beberapa tidak tahan di stadium 3 mulai melirik rumput tetangga yang katanya lebih hijau. Awal mulanya dari curhat, “kebetulan” ada yang bisa memberi rasa nyaman. Ada yang melarikan diri ke pekerjaan, bisnis atau kegiatan sosial. Komunikasi sepertinya buntu. Ada juga yang mendiamkan pasangan bisa berhari-hari atau bahkan bulan.

Di stadium ini ada yang akhirnya sadar kalau kondisi pernikahan sudah kritis dan berusaha mencari solusi. Ada yang mampu melakukan introspeksi dengan cepat, ada yang berusaha mencari bantuan bisa teman, keluarga atau kepada mereka yang ahli di bidangnya. Mereka yang sadar masih terbuka kemungkinan untuk menurunkan tingkat konflik ke stadium 2 dan 1. Namun ada juga pasangan yang menyadari bahwa pernikahan sudah kritis namun sudah apatis, merasa tidak ada harapan, merasa dirinya sebagai korban dan pasangannya yang harus berubah, tidak ada keinginan untuk introspeksi diri, yang ada menyalahkan pasangan. Stadium III ditandai dengan kelelahan mental yang luar biasa, jika tidak ada tindakan cepat akan masuk ke stadium 4.

Stadium IV

Stadium ini ditandai dengan salah satu atau kedua pasangan ingin berpisah. Ada terlontarkan pada saat bertengkar, ada yang akhirnya tidur terpisah beda kamar atau beda rumah, ada juga yang mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Stadium ini tingkat kerusakan sudah sangat parah, dibutuhkan komitmen, keberanian dan usaha yang luar biasa untuk bisa menyelamatkan pernikahan. Namun bukan berarti hal ini mustahil, masih ada harapan.

Terima kasih sudah membaca artikel kami yang berjudul Harmoni Kehidupan Bercerai atau Bertahan. Semoga artikel Harmoni Kehidupan Bercerai atau Bertahan bermanfaat bagi kita semua.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini