Pernahkah anda membaca buku “Sybill”??? Buku yang menceritakan kisah nyata ini terinspirasi dari tokoh bernama Shirley Ardell Mason (1923 – 1998), wanita asal Dodge Center, Minnesota, Amerika yang masa kecilnya mengalami penyiksaan berat oleh ibu kandungnya sendiri, Martha Alice Hageman. Sang ibu berbuat begitu karena menginginkan anaknya tumbuh kuat dan berdisiplin, setiap melakukan kesalahan Shirley disiksa oleh ibunya hingga ketika besar tumbuh menjadi pribadi yang tercerai-berai, bayangan masa lalunya membuat Shirley mengalami Multiply Personality Disorder di kehidupan dewasanya. Mari kita simak penjelasan dari artikel Waspadai Trauma Pada Anak di maimelajah.com, berikut ini :
#Multiply Personality Disorder (Waspadai Trauma Pada Anak)
Multiply Personality Disorder adalah ganggung kejiwaan dimana tubuh terpecah menjadi beberapa kepribadian dimana satu dan yang lainnya tidak saling mengenal. Ketika gangguan kepribadian yang satu muncul dan mengambil alih tubuhnya orang yang mengidap penyakit ini tidak akan menyadari apa yang sudah dilakukan dan apa yang sudah dikatakannya. Munculnya penyakit ini karena orang yang bersangkutan mengalami tekanan yang sangat berat, tekanan ini membuat alam bawah sadarnya tidak menerima atau bahkan ingin melupakan sehingga tubuh memecah untuk menjadi pribadi yang berbeda. Adakalanya kepribadian yang diciptakan tidak membahayakan namun tidak sedikit yang membahayakan orang lain. Karena “trauma” dapat mempengaruhi seseorang, perubahan itu tergantung besar kecilnya trauma yang dialami.
Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti Luka. Kata trauma digunakan untuk menggambarkan situasi akibat atau peristiwa yang dialami oleh seseorang. Trauma dapat dialami individu baik pada masa bayi, kanak – kanak sampai masa dewasa maupun tua, bergantung seberapa kuat trauma itu membekas yang tentunya memberikan reaksi secara individual yang berbeda. Dalam artikel ini akan dibahas tentang trauma kecil pada anak. Dalam kehidupan sehari – hari setiap orang akan mengalami berbagai aktivitas atau kejadian. Ada aktivitas yang berasal dari kejadian rutin sehari – hari yang kadang – kadang memicu munculnya stress jangka pendek, seperti mengerjakan tugas /PR, ulangan. Ada pula yang berasal dari orang tua sendiri. Bagi individu dengan karakter yang cukup sensitive, bila ada ketegangan kecil yang ditambah sebuah penggambaran melalui pemahaman yang salah dari lingkungannya, secara langsung maupun tidak langsung hal ini memunculkan bentuk trauma kecil yang berdampak pada pikirannya dan berpengaruh pada perubahan perilaku individu, dan lambat laun juga mempengaruhi bagaimana individu tersebut bersikap terhadap masa depannya.
#Waspadai Trauma Pada Anak
Bila seorang anak berbuat kesalahan, orang tua menggunakan bahasa yang salah untuk menghukum perilakunya, misalnya “Nanti kalau kamu dapat nilai jelek akan dikurung digudang biar ketemu hantu“. Apa yang akan terjadi? Berawal dari hal kecil yang dilakukan pada anak, membuat anak sejak saat itu ketakutan saat akan menghadapi ulangan karena takut nilainya jelek dan akan dikurung. Lebih parahnya sejak itu anak akan takut dengan gudang, ia merekam sebuah peristiwa, ia membuat sebuah visualisasi tertentu saat berada di gudang dan mungkin ia berkata bahwa ia bertemu dengan hantu. Inilah yang dinamakan dengan trauma kecil, hanya dari ucapan dari orang tua saja yang tidak tepat, namun berbekas di pikiran anak. Tentunya kejadian semacam ini tidak hanya terjadi pada masa kanak – kanak saja, tetapi juga bisa terjadi pada masa lain seperti masa remaja maupun dewasa. Walaupun demikian, trauma karena aktivitas harian ini memang lebih banyak terjadi pada masa kanak – kanak. Ini karena rekaman memori anak masih sangat natural dan kuat, demikian juga norma ataupun nilai yang berlaku pada masa anak belum dipahami secara rasional dan tepat.
#Faktor yang mempengaruhi Trauma Pada Anak
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu faktor eksternal dan internal, yaitu :
- Factor internal yaitu factor biologis, herediter (keturunan), kondisi fisik, neurofisiologi atau neurohormonal.
- Factor eksternal meliputi factor psikoedukatif, cultural, perkembangan kepribadiannya ataupun pengalaman – pengalamannya.
Factor pengalaman dan psikoedukatif setidaknya akan membantu mempengaruhi perkembangan pola berpikir individu agar dapat memahami permasalahan atau kejadian secara lebih rasional dan obyektif. Tentu saja hal ini dibantu oleh teladan – teladan yang sesuai dan tepat dari orang tuanya. Teladan ini setidaknya bersifat pro-aktif dan konsisten, sehingga anak tidak merasa selalu menjadi subyek yang melakukan kesalahan.
Menurut Piaget dan Kohlberg seorang pakar dari Psikologi Kognitif dan Moral, sebenarnya setiap anak sejak bayi telah ditanamkan perilaku – perilaku moral dari keluarga ataupun lingkungannya, tetapi perkembangan moral mulai dapat dipahami perlahan sejak usia 4 tahun. Tahap – tahap tersebut adalah :
1. Tahap I (4 – 10 tahun) = Moralitas pra konvensional
Pada tahap ini seorang anak akan memperhatikan ketaatan dan hukuman, sehingga anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Pada tahap ini focus anak hanya pada kebutuhannya sehingga ia hanya memahami bahwa perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Tentunya pada tahap ini anak terlihat cenderung mementingkan keinginannya sendiri, bagaimana peranan orang tua dalam memberikan penjelasan dan pemahaman tentang kebutuhan dan makna yang terkandung sebagai akibat perilaku baik perlu menjadi perhatian.
2. Tahap II (11 – 14 tahun) = Moralitas konvensional
Seorang anak dimasa ini sudah mulai tahu tentang “citra anak baik” dan memperhatikan pelaksanaan hukuman dan peraturan, sehingga anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman, dan perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya. Jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan dalam setiap perilaku. Bagi keluarga yang menerapkan aturan yang konsisten, anak dan remaja memiliki sikap pasti terhadap wewenang dan aturan. Anak dan remajapun merasa bahwa hokum harus ditaati oleh semua orang termasuk orang tuanya, jadi anak akan merasa kecewa kalau ia dipaksa harus bangun pagi, tetapi justru orang tuanya jarang bangun pagi dan orang tuanya tidak pernah dihukum seperti dirinya.
3. Tahap III (diatas 14 tahun) = Moralitas pasca konvensional
Anak akan memperhatikan hak perseorangan dan memperhatikan prinsip – prinsip etika, remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan social, sehingga perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan untuk mencapai hal – hal yang paling baik.
Ketiga tahapan pada anak itu harus diperhatikan oleh orang tua. Lebih baik orang tua menekankan pentingnya disiplin secara bertahap dibandingkan hukuman. Hukuman mengajarkan suatu pelajaran melalui pemaksaan emosional atau kekerasan fisik, hukuman mungkin terlihat bisa menghentikan perilaku yang tidak diinginkan saat ini namun belum tentu bisa mencegahnya terulang kembali di masa mendatang. Berdasarkan berbagai riset hukuman bukan cara efektif agar anak bertingkah laku baik di masa mendatang. Kadang hal ini juga bisa memunculkan trauma kecil pada anak, terutama bila hukuman diterapkan pada tahap pra konvensional dengan penjelasan dan aturan yang tidak konsisten.
Sejak kita menanamkan kedisiplinan, kita bisa menjelaskan pada anak bahwa banyak peristiwa yang harus dihadapi, peristiwa itu bisa menyenangkan atau tidak. Ajarkan bahwa setiap permainan pun selalu ada yang menang dan kalah. Siapkan anak untuk berani menghadapinya, bersikap jujur, dan ini secara bertahap akan menumbuhkan kekuatan khusus untuk menemukan semua sisi positif yang ada dalam dirinya sendiri oleh anak itu sendiri. Anak pun berani menghadapi kondisi apapun tanpa harus membentuk pikiran negative yang memicu munculnya trauma kecil.
Dampak besar dari trauma kecil yang nyata
Dampak besar dari trauma kecil yang nyata adalah pada cara berpikir dan perubahan perilaku individu. Tentunya bila kedua hal ini menjadi semakin ekstrim akan berpengaruh kepada cara pandangnya terhadap masa depan dan penerus keturunan mereka. Seorang anak yang terus menerus mendapat tekanan, secara tidak dia sadari muncul defence untuk dapat bertahan dari tekanan tersebut. Walaupun dari luar secara fisik ia terlihat kuat, tapi karena pemahaman yang keliru terhadap kejadian negative yang dia alami, didukung pemahaman moral dan lingkungan yang secara rasional belum dipahami anak, secara berangsur – angsur akan mempengaruhi pola pikirnya dan tentu saja perubahan perilaku. Ada yang berdampak pada munculnya sikap tertutup, acuh, apatis, tidak percaya diri, agresif dan sebagainya. Tentunya pasti berpengaruh pada cara pandang terhadap masa depannya. Waspadai Trauma Pada Anak
Secara umum sikap orang tua yang bijaksana dapat mempengaruhi pembentukan karakter anak. Apa yang mesti dilakukan?
1. Sosialisasi tindakan
Sejak dini sosialisasikan setiap tujuan yang diharapkan dalam perilaku yang ingin dibentuk ketika anak – anak itu bertumbuh dan berkembang, tentunya tergantung dari persepsi yang dimiliki orang tua tentang berbagai aspek kehidupan. Secara bertahap sesuai dengan perkembangan mereka ajarkan kebaikan, pentingnya menghargai kebutuhan dan pendapat orang lain serta kasih saying. Jangan menetapkan sesuatu tanpa sosialisasi terlebih dahulu karena membuat anak kaget dan kadang muncul rasa takut.
2. Buat batasan
Kunci penting disini adalah keberanian dan kesadaran orang tua. Ingatlah bahwa semua anak itu menguji batasan yang ditetapkan untuk dirinya, terutama pada anak yang masih kecil. Hall ini menjadi bagian dari proses perkembangan mereka. Tips yang bisa berguna untuk dikembangkan orang tua adalah :
- Batasan yang ditetapkan harus adil
- Aturan yang dibuat harus beralasan dan sesuai dengan kemampuan anak
- Perintah yang diberikan harus jelas, positif, dan tegas. Perintah tidak jelas contohnya, “Mama mau kamu jadi anak baik!” bagi seseorang anak usia 6 tahun pun ini masih membingungkan. Ia tidak tahu maksud dari “baik” itu apa. Kata ini sangat relative. Orang tua harus menjelaskan poin – poin yang dimaksud dengan kata “baik”. Apakah yang orang tua maksud meletakkan kembali mainan yang telah selesai digunakan atau mengucapkan terimakasih bila diberi sesuatu atau permisi jika hendak lewat di depan orang yang lebih tua. Hal ini juga berlaku untuk kata “sopan”. Seringkali orangtua mengatakan pada anaknya “Kamu harus sopan Nak”. Tanpa dibarengi dengan penjelasan dan batasan tentang kesopanan.
3. Beri kesempatan mereka mengalami akibat dari perilakunya
Ijinkan mereka menanggung akibat dari perilakunya jika mereka mencoba melanggarnya. Mereka akan belajar dari pengalaman buruknya. Yang penting setelah mereka mengalami akibatnya jangan diolok – olok. Olokan semacam, “Nah, rasakan sendiri akibatnya kalau tidak mau menurut Papa/Mama!”, kata – kata ini justru akan menimbulkan kesedihan mendalam dan bahkan luka batin dalam diri anak. Cukup katakan, “Mama/papa ikut sedih kamu mengalami hal ini. Apa yang bisa kamu pelajari dari hal ini agar lain kali kamu bisa lebih baik lagi? Bagaimana Mama/papa membantumu agar lain kali tidak terulang lagi?”. Setelah itu jika perlu peluklah dirinya untuk membuatnya tetap merasa aman dan diterima apa adanya. Tentunya ini akan membantu anak untuk tidak memicu munculnya trauma kecil.
4. Penghargaan
Pelukan hangat dan ciuman selalu merupakan sebuah penghargaan besar bagi seorang anak. Penghargaan berupa hadiah secara perlahan perlu orang tua gantikan dengan perhatian positif saat perilakunya mengalami kemajuan. Kita harus waspada terhadap situasi ketika anak – anak hanya akan melakukan sesuatu demi mendapatkan penghargaan. Upayakan bersikap peka terhadap kejadian dan pengalaman anak setiap kurun waktu yang ia jalani.
5. Otoritas
Tegakkan otoritas anda sebagai orangtua pada saat yang tepat. Gunakan bahasa tubuh dan intonasi suara yang tepat pula untuk menunjukkan bahwa Anda serius dengan ucapan Anda. Ingatlah selalu “seorang anak senantiasa menguji batasan terhadap dirinya dengan perilakunya”
#Unduh Materi
Demikian penjelasan tentang artikel Waspadai Trauma Pada Anak. Semoga artikel Waspadai Trauma Pada Anak bermanfaat bagi kita semua. Terima Kasih.