Pada kesempatan kali ini maimelajah.com akan membahas mengenai Adaptasi Stres Oleh Tubuh, Intip Disini Yukk!. Stres adalah reaksi tubuh yang muncul saat seseorang menghadapi ancaman, tekanan, atau suatu perubahan. Stres juga dapat terjadi karena situasi atau pikiran yang membuat seseorang merasa putus asa, gugup, marah, atau bersemangat. Situasi tersebut akan memicu respon tubuh, baik secara fisik ataupun mental. Respon tubuh terhadap stres dapat berupa napas dan detak jantung menjadi cepat, otot menjadi kaku, dan tekanan darah meningkat.
Setiap orang, termasuk anak-anak, pernah mengalami stres. Kondisi ini tidak selalu membawa efek buruk dan umumnya hanya bersifat sementara. Stres akan berakhir saat kondisi yang menyebabkan tekanan atau frustasi tersebut dilewati. Stres yang berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan fisik serta melemahkan daya tahan tubuh. Selain itu, stres juga dapat menimbulkan gangguan pada sistem pencernaan dan sistem reproduksi. Orang yang mengalami stres secara berkepanjangan biasanya juga akan mengalami gangguan tidur. Adaptasi stres perlu dilakukan yaitu dengan menggunakan koping positif. Koping positif mungkin tidak akan menyelesaikan masalah yang menyebabkan stres namun koping positif akan mempermudah tubuh dan pikiran adaptasi terhadap stres
Model Adaptasi Stres
1. Model biologis dari Hans Selye
Selye mendefinisikan stres sebagai respons umum dari tubuh terhadap segala jenis tuntutan (stresor) yang diberikan kepadanya. Menurut Selye, pada waktu menghadapi stresor, tubuh mengeluarkan reaksi-reaksi yang disebutnya general adaptation syndrome (GAS). GAS terdiri dari tiga tahapan yakni: The alarm reaction , tahap di mana terjadi persiapan untuk melawan stresor; The stage of resistance , tahap di mana terjadi perlawanan terhadap stresor, dan The stage of exhaustion , tahap melemahnya perlawanan akibat keberadaan stresor yang berkepanjangan.
2. Model Psikofisiologis dari Richard Lazarus
Teori Lazarus berkembang dari pertanyaan, mengapa sesuatu bisa menjadi stresor bagi orang yang satu namun bukan stresor bagi orang yang lain. Menurut Lazarus, kuncinya terletak pada persepsi orang itu sendiri, yakni ia merasa terancam oleh stresor tersebut, dan bukan pada stresornya. Lazarus mendefinisikan stres sebagai kaitan tertentu antara seseorang dan lingkungannya di mana ia menilai kondisi itu sebagai sesuatu yang membebaninya atau melebihi kesanggupannya dan membahayakan kesejahteraannya. Model stresnya terbagi dalam tiga tahapan. Pada tahap pertama, appraisal, seseorang membuat penilaian awal (primary appraisal) terhadap suatu stimulus, yakni berapa pentingnya stimulus itu terhadap kesejahteraannya. Jika ia menilai bahwa perjumpaan dengan stimulus itu tidak mempunyai pengaruh apa pun terhadapnya, maka kesimpulannya adalah irrelevant. Bila ia menganggap bahwa perjumpaan dengan stimulus itu malah akan melindungi atau memperkaya kesejahteraannya, maka kesimpulannya ialah benign-positive.
Namun, manakala perjumpaan dengan stimulus itu mengandung bahaya, kehilangan, ancaman, atau tantangan, maka kesimpulannya adalah stress-appraisal. Sewaktu penilaian stress-appraisal dibuat, orang itu pun melakukan penilaian berikutnya (secondary appraisal), yaitu apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi perjumpaan yang mengandung stres itu. Proses secondary appraisal digabung dengan primary appraisal menentukan reaksi emosional dan kadar stres yang dialaminya. Tahap kedua ialah mengatasi stimulus yang dinilai membawa stres dengan menggunakan strategi yang dipikirkan pada secondary appraisal. Semua upaya untuk mengatasi stres dapat dikelompokkan dalam dua golongan: problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping berusaha untuk mengubah atau menguasai stimulus yang membawa stres itu. Emotion-focused coping berupaya untuk mengubah atau menguasai respons emosional orang itu terhadap stimulus yang membawa stres, misalnya menyangkal keadaan, melemaskan badan, mendapatkan dukungan, atau memperoleh makna hidup. Tahap ketiga ialah hasil (outcome) yang terbagi dalam tiga kelompok: (a) berfungsi kembali dalam pekerjaan dan kehidupan sosial; (b) memperoleh kepuasan hidup; dan (c) sehat jasmani.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres
Faktor perilaku
Tatkala seseorang menjumpai stresor dalam lingkungannya, ada dua karakteristik pada stresor tersebut yang akan mempengaruhi reaksinya terhadap stresor itu yaitu: Berapa lamanya (duration) ia harus menghadapi stresor itu dan berapa terduganya stresor itu (predictability).
Faktor psikologis .
Ada tiga faktor psikologis yang terlibat di sini.
- Pertama adalah perceived control yakni keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai stresor itu. Orang dengan internal locus of control (peristiwa yang terjadi sangat dipengaruhi oleh perilakunya) cenderung lebih mampu mengatasi stres dibanding dengan orang dengan external locus of control (peristiwa yang terjadi bergantung pada nasib, keberuntungan atau orang lain).
- Kedua, learned helplessness adalah reaksi tidak berdaya akibat seringnya mengalami peristiwa yang berada di luar kendalinya. Produk akhirnya adalah motivational deficit (menyimpulkan bahwa semua upaya adalah sia-sia), cognitive deficit (kesulitan mempelajari respons-respons yang dapat membawa hasil yang positif) dan emotional deficit (rasa tertekan karena melihat bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa dan situasinya tak terkendalikan lagi).
- Ketiga ialah hardiness (keberanian, ketangguhan) yang terdiri dari tiga karakteristik: Keyakinan bahwa seseorang dapat mengendalikan atau mempengaruhi apa yang terjadi padanya; Komitmen, keterlibatan, dan makna pada apa yang dilakukannya hari demi hari; dan fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, seakan-akan perubahan merupakan tantangan untuk pertumbuhannya.
Faktor sosial
Peristiwa penting dalam hidup seperti pernikahan atau kehilangan pekerjaan merupakan stresor sosial yang berpengaruh. The Social Readjustment Rating Scale oleh T. H. Holmes dan R. H. Rahe di bawah ini mendaftarkan peristiwa penting dalam hidup dan kandungan stresornya.
Selain peristiwa penting, ternyata tugas rutin sehari-hari juga berpengaruh terhadap kesehatan jiwa, seperti kecemasan dan depresi. Dukungan sosial turut mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi stres.
Dukungan sosial mencakup :
- Dukungan emosional, seperti rasa dikasihi;
- Dukungan nyata, seperti bantuan atau jasa; dan
- Dukungan informasi, misalnya nasehat dan keterangan mengenai masalah tertentu.
Penutup
Demikian penjelasan tentang Adaptasi Stres Oleh Tubuh, Intip Disini Yukk!. Stres yang berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan fisik serta melemahkan daya tahan tubuh. Selain itu, stres juga dapat menimbulkan gangguan pada sistem pencernaan dan sistem reproduksi. Maka dari itu jagalah kesehatan dan hindarilah stres yang berkepanjangan. Terima Kasih